Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Pengertian ulama fiqih
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah
sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih
mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya
memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’. Ini adalah pengertian
mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Pembagian Mazhab
Mazhab yang digunakan secara luas saat
ini antara lain mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab
Hambali dari kalangan Sunni. Sementara kalangan Syi’ah memiliki mazhab
Ja’fari, Ismailiyah dan Zaidiyah.
Mazhab Fiqih Adalah Sebuah Upaya Memudahkan
Al-Quran dengan memuat 6000-an ayatnya,
serta jutaan hadits Nabi, dapat dipastikan tidak semua orang mampu
membaca semuanya, apalagi memahami dan menarik kesimpulan hukumnya
karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh setiap orang.
Al-Quran yang berbahasa arab dan berbentuk prosa yang enak dibaca
sebagai bentuk sastra, sehingga menelusuri 6000-an ayat untuk dipetakan
menjadi sebuah kitab undang-undang yang rinci dan spesifik membutuhkan
sebuah kerja berat dengan seperangkan keilmuan untuk memahaminya.
Kehadiran para ulama pendiri mazhab itulah yang berperan untuk
menyelesaikan proyek maha raksasa itu. Satu demi satu ayat Quran dibaca,
ditelaah, diteliti, dikaji, dibandingkan dengan ayat lainnya, lalu
dicoba untuk ditarik kesimpulan hukum yang terkandung di dalamnya.
Tentang hadits nabawi yang berjumlah jutaan itu, lebih repot lagi
menanganinya. Sebab sebelum ditarik kesimpulan hukumnya, hadits-hadits
itu masih harus mengalami proses validisasi terlebih dahulu, serta
ditetapkan status derajat keshahihannya.
Hasil dari penelusuran panjang baik dari ayat Quran maupun jutaan
butir hadits itu kemudian ditulis dengan susunan yang mudah, dengan
bahasa yang lebih teknis dan komunikatif oleh para ulama mazhab itu.
Dengan mengikuti sebuah pola tertentu yang sudah distandarisasi
sebelumnya secara ilmiyah. Ada puluhan bahkan ratusan ulama ahli dan
ekspert di bidangnya yang bekerja 24 jam sehari untuk melakukan proses
ini sepanjang zaman. Sehingga menghasilkan kesimpulan dan rincian hukum
yang sangat detail dan bisa menjawab semua masalah syariah sepanjang
zaman.Dan semua itu disebut dengan mazhab
Kalau ada orang yang dengan lugunya
mengatakan mengapa harus menggunakan madzhab dan tidak langsung saja
mengacu kepada Al-Qur’an dan sunnah, jelaslah bahwa orang tersebut
nampaknya tidak tahu persoalan.
Dan ketika orang tersebut nantinya
mengambil kesimpulan hukum sendiri langsung dari Quran dan sunnah, tanpa
sadar dia sedang mendirikan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab dirinya
sendiri. Dan begitulah, setiap kali ada orang membaca Al-Quran atau
sunnah sebagai sumber hukum, maka apa yang disimpulkannya adalah mazhab.
Mazhab itu bisa saja mazhab baru, karena belum ada orang yang memahami
dengan cara demikian sebelumnya, atau bisa juga mazhab lama, karena
sebelumnya sudah ada yang menyimpulkan seperti kesimpulannya. Sebab lain
adalah; yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang
dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya
untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang
bermazhab. Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada,
maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri.
Berikut adalah pendapat KH. Hasyim Asy’ari tentang pentingnya bermadzhab dalam beragama:
رِسَالَةٌ فِيْ تَأَكُّدِ الْأَخْذِ بِمَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ
تَأْلِيْفُ الشَّيْخِ مُحَمَّدْ هَاشِمْ أَشْعَرِي (1287-1366هـ)
تَأْلِيْفُ الشَّيْخِ مُحَمَّدْ هَاشِمْ أَشْعَرِي (1287-1366هـ)
Risalah Tentang Pentingnya Mengikuti Madzhab Empat
Karya Hadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy’ari
(1287H-1366H)
Karya Hadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy’ari
(1287H-1366H)
اِعْلَمْ أَنَّ فِي الْأَخْذِ بِهَذِهِ
الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ مَصْلَحَةً عَظِيْمَةً وَفِي الْإِعْرَاضِ
عَنْهَا كُلِّهَا مَفْسَدَةً كَبِيْرَةً
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mengikuti
madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengandung
kemaslahatan yang besar, dan meninggalkan seluruhnya membawa resiko
kerusakan yang fatal.
وَنَحْنُ نُبَيِّنُ ذَلِكَ بِوُجُوْهٍ
Kami akan menjelaskan persoalan diatas dari beberapa aspek:
أَحَدُهَا أَنَّ الْأُمَّةَ اِجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَعْتَمِدُوْا عَلَى السَّلَفِ فِيْ مَعْرِفَةِ الشَّرِيْعَةِ
Pertama, bahwa umat Islam telah sepakat
bulat untuk mengacu dan menjadikan ulama salaf sebagai pedoman dalam
mengetahui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam secara benar.
فَالتَّابِعُوْنَ اِعْتَمَدُوْا فِيْ
ذَلِكَ عَلَى الصَّحَابَةِ وَتُبَّعُ التَّابِعِيْنَ اِعْتَمَدُوْا عَلَى
التَّابِعِيْنَ وَهَكَذَا فِيْ كُلِّ طَبَقَةٍ اِعْتَمَدَ الْعُلَمَاءُ
عَلَى مَنْ قَبْلَهُمْ
Dalam hal ini, para tabi’in mengikuit
jejak para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu para
pengikut tabi’in meneruskan langkah dengan mengikuti jejak para tabi’in.
Demikianlah seterusnya, pada setiap generasi, para ulama pasti mengacu
dan merujuk kepada orang-orang dari generasi sebelumnya.
وَالْعَقْلُ يَدُلُّ عَلَى حُسْنِ ذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيْعَةَ لَا تُعْرَفُ إِلَّا بِالنَّقْلِ وَالْإِسْتِنْبَاطِ
Akal yang sehat menunjukkan betapa
baiknya pola pemahaman dan pengamalan syariat Islam yang seperti itu.
Sebab syariat Islam tidak dapat diketahui kecuali dengan cara naql
(mengambill dari generasi sebelumnya) dan istinbath (mengeluarkan dari
sumbernya, Al Quran dan al Hadits, melalui ijtihad untuk menetapkan
hukum).
وَالنَّقْلُ لَا يَسْتَقِيْمُ إِلَّا بِأَنْ تَأْخُذَ كُلُّ طَبَقَةٍ عَمَّنْ قَبْلَهَا بِالْإِتِّصَالِ
Naql tidak mungkin dilakukan dengan
benar kecuali dengan cara setiap generasi mengambil langsung dari
generasi sebelumnya secara berkesinambungan.
وَلَا بُدَّ فِي الْإِسْتِنْبَاطِ أَنْ
يَعْرِفَ مَذَاهِبَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ لِئَلَّا يَخْرُجَ عَنْ
أَقْوَالِهِمْ فَيَخْرِقُ الْإِجْمَاعَ وَيَبْنِيْ عَلَيْهَا
وَيَسْتَعِيْنُ فِيْ ذَلِكَ بِمَنْ سَبَقَهُ
Sedangkan untuk istinbath, disyaratkan
harus mengetahui madzhab-madzhab ulama generasi terdahulu agar tidak
menyimpang dari pendapat-pendapat mereka yang bisa
berakibat menyalahi kesepakatan mereka
(ijma’). Dan melanjutkan madzhab-madzhab tersebut dengan ditunjang
madzhab-madzhab ulama generasi sebelumnya
لِأَنَّ جَمِيْعَ الصِّنَاعَاتِ
كَالصَّرْفِ وَالنَّحْوِ وَالطِّبِّ وَالشِّعْرِ وَالْحِدَادَةِ
وَالتِّجَارَةِ وَالصِّيَاغَةِ لَمْ تَتَيَسَّرْ لِأَحَدٍ إِلَّا
بِمُلَازَمَةِ أَهْلِهَا وَغَيْرُ ذَلِكَ نَادِرٌ بَعِيْدٌ لَمْ يَقَعْ
وَإِنْ كَانَ جَائِزًا فِي الْعَقْلِ
Sebab, semua pengetahuan dan kecakapan
yang dimiliki seseorang, misalnya dibidang shorof, nahwu, kedokteran,
kesusastraan, pandai besi, perdagangan dan keahlian logam mulia, tidak
mungkin begitu saja mudah dipelajari oleh seseorang kecuali dengan terus
menerus belajar kepada ahlinya. Diluar cara itu, sungguh sangat langka
dan jauh dari kemungkinan, bahkan nyaris tidak pernah terjadi,
kendatipun secara akal boleh saja terjadi.
وَإِذَا تَعَيَّنَ الْإِعْتِمَادُ عَلَى
أَقَاوِيْلِ السَّلَفِ فَلَا بُدَّ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ أَقْوَالُهُمْ
اَلَّتِيْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهَا مَرْوِيَّةً بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيْحِ
أَوْ مُدَوَّنَةً فِيْ كُتُبٍ مَشْهُوْرَةٍ
Jika pendapat-pendapat para ulama salaf
telah menjadi keniscayaan untuk dijadikan pedoman, maka
pendapat-pendapat mereka yang dijadikan pedoman itu haruslah
diriwayatkan dengan sanad (mata-rantai) yang benar dan bisa dipercaya,
atau dituliskan dalam kitab-kitab yang masyhur
وَأَنْ تَكُوْنَ مَخْدُوْمَةً بِأَنْ
يُبَيَّنَ الرَّاجِحُ مِنْ مُحْتَمَلَاتِهَا وَيُخَصَّصَ عُمُوْمُهَا فِيْ
بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَيُقَيَّدَ مُطْلَقُهَا فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ
وَيُجْمَعَ الْمُخْتَلَفُ مِنْهَا وَيُبَيَّنَ عِلَلُ أَحْكَامِهَا
وَإِلَّا لَمْ يَصِحَّ الْاِعْتِمَادُ عَلَيْهَا
dan telah diolah (dikomentari) dengan
menjelaskan pendapat yang unggul dari pendapat lain yang serupa,
menyendirikan persoalan yang khusus (takhshish) dari yang umum,
membatasi yang muthlaq dalam konteks tertentu, menghimpun dan
menjabarkan pendapat yang berbeda dalam persoalan yang masih
diperselisihkan serta menjelaskan alasan timbulnya hukum yang demikian.
Karena itu, apabila pendapat-pendapat ulama tadi tidak memenuhi syarat
yang telah ditentukan seperti diatas, maka pendapat tersebut tidak dapat
dijadikan pedoman.
وَلَيْسَ مَذْهَبٌ فِيْ هَذِهِ
الْأَزْمِنَةِ الْمُتَأَخِّرَةِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ إِلَّا هَذِهِ
الْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ اَللَّهُمَّ إِلَّا مَذْهَبَ الْإِمَامِيَّةِ
وَالزَّيْدِيَّةِ وَهُمْ أَهْلُ الْبِدْعَةِ لَا يَجُوْزُ الْاِعْتِمَادُ
عَلَى أَقَاوِيْلِهِمْ
Tidak ada satu madzhabpun di zaman akhir
ini yang memenuhi syarat dan sifat seperti diatas selain madzhab empat
ini. Memang ada juga madzhab yang mendekati syarat dan sifat diatas,
yaitu madzhab Imamiyah (Syi’ah) dan Zaydiyah (golongan Syi’ah). Namun
keduanya adalah golongan ahlu bid’ah, sehingga keduanya tidak boleh
dijadikan pegangan.
وَثَانِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّبِعُوا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ
وَلَمَّا انْدَرَسَتْ اَلْمَذَاهِبُ الْحِقَّةُ إِلَّا هَذِهِ الْأَرْبَعَةَ كَانَ اتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأَعْظَمِ
وَلَمَّا انْدَرَسَتْ اَلْمَذَاهِبُ الْحِقَّةُ إِلَّا هَذِهِ الْأَرْبَعَةَ كَانَ اتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Ikutilah golongan terbesar (as-Sawad al-A’zham)!”.
Ketika beberapa madzhab yang tergolong benar telah hilang dan yang tersisa hanya tinggal empat madzhab ini, maka nyatalah bahwa mengikuti empat madzhab berarti mengikuti as-Sawad al-A’zham, dan keluar dari sana berarti telah keluar dari as-Sawad al-A’zham.
Ketika beberapa madzhab yang tergolong benar telah hilang dan yang tersisa hanya tinggal empat madzhab ini, maka nyatalah bahwa mengikuti empat madzhab berarti mengikuti as-Sawad al-A’zham, dan keluar dari sana berarti telah keluar dari as-Sawad al-A’zham.
وَثَالِثُهَا أَنَّ الزَّمَانَ لَمَّا
طَالَ وَبَعُدَ الْعَهْدُ وَضُيِّعَتِ الْأَمَانَاتُ لَمْ يَجُزْ أَنْ
يُعْتَمَدَ عَلَى أَقْوَالِ عُلَمَاءِ السُّوْءِ مِنَ الْقُضَاةِ
الْجَوَرَةِ وَالْمُفْتِيْنَ التَّابِعِيْنَ لِأَهْوَائِهِمْ حَتَّى
يَنْسِبُوْا مَا يَقُوْلُوْنَ إِلَى بَعْضِ مَنْ اِشْتَهَرَ مِنَ السَّلَفِ
بِالصِّدْقِ وَالدِّيَانَةِ وَالْأَمَانَةِ إِمَّا صَرِيْحًا أَوْ
دَلَالَةً وَحِفْظِ قَوْلِهِ فِيْ ذَلِكَ وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ لَا
نَدْرِيْ هَلْ جَمَعَ شُرُوْطَ الْإِجْتِهَادِ أَوْ لَا
Ketiga, pada saat zaman sudah begitu
lama berputar, makin jauh (dari masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam), dan amanat menjadi begitu mudah disia-siakan, maka tidak
boleh berpegang pada pendapat-pendapat oknum-oknum ulama yang buruk,
baik dari kalangan hakim-hakim yang menyeleweng maupun mufti-mufti yang
hanya mengikuti hawa nafsunya, meskipun mereka mengaku bahwa pendapatnya
itu sesuai dengan pendapat ulama salaf yang masyhur integritas
pribadinya, loyalitas agamanya dan amanah moralnya, baik secara
eksplisit maupun secara implisit, serta memelihara pendapatnya secara
bertanggung jawab. Kitapun tidak boleh mengikuti pendapat orang yang
kita belum mengetahui persis apakah yang bersangkutan sudah memenuhi
persyaratan ijtihad atau belum.
فَإِذَا رَأَيْنَا الْعُلَمَاءَ
الْمُحَقِّقَيْنَ فِيْ مَذَاهِبِ السَّلَفِ عَسَى أَنْ يَصْدُقُوْا فِيْ
تَخْرِيْجَاتِهِمْ عَلَى أَقْوَالِهِمْ وَاسْتِنْبَاطِهِمْ مِنَ الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ وَأَمَّا إِذَا لَمْ نَرَ مِنْهُمْ ذَلِكَ فَهَيْهَاتَ
Apabila kita melihat para ulama ahli
tahqiq (penelitian) yang menekuni madzhab-madzhab para ulama salaf, maka
ada harapan bahwa mereka akan memperoleh kebenaran dalam usahanya
merumuskan pendapat dan penggalian ketentuan-ketentuan hukum dari
al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebaliknya, apabila kita tidak melihat hal itu
kepada mereka, maka sungguh jauh dari kemungkinan memperoleh kebenaran
yang diharapkan.
وَهَذَا الْمَعْنَى الَّذِيْ أَشَارَ
إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَيْثُ قَالَ
يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ جِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَابْنُ
مَسْعُوْدٍ حَيْثُ قَالَ مَنْ كَانَ مُتَّبِعًا فَلْيَتَّبِعْ مَنْ مَضَى
Inilah pengertian yang secara tidak
langsung ditunjukkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khatthab radhiyallaahu
‘anhu melalui perkataannya: “Islam akan hancur akibat kelihaian
orang-orang munafik dalam berdebat dengan menggunakan al-Qur’an.”
Dan juga sahabat Ibnu Mas’ud berpesan: “Barangsiapa menjadi pengikut (yang baik) maka hendaklah mengikuti (para ulama) generasi sebelumnya.”
Dan juga sahabat Ibnu Mas’ud berpesan: “Barangsiapa menjadi pengikut (yang baik) maka hendaklah mengikuti (para ulama) generasi sebelumnya.”
فَمَا ذَهَبَ اِلَيْهِ ابْنُ حَزْمٍ
حَيْثُ قَالَ اَلتَّقْلِيْدُ حَرَامٌ إِلَى آخِرِهْ إنَّمَا يَتِمُّ
فِيْمَنْ لَهُ ضَرْبٌ مِنَ الْاِجْتِهَادِ وَلَوْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
وَاحِدَةٍ
Dengan demikan gagasan yang pernah
dilontarkan Ibnu Hazm bahwa taqlid itu hukumnya haram, sesungguhnya
hanya ditujukan kepada orang yang memiliki kemampuan berijtihad meskipun
hanya dalam satu permasalahan,
وَفِيْمَنْ ظَهَرَ عَلَيْهِ ظُهُوْرًا
بَيِّنًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَذَا
وَنَهَى عَنْ كَذَا وَأَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْسُوْخٍ إِمَّا بِأَنْ
يَتَتَبَّعَ الْأَحَادِيْثَ وَأَقْوَالَ الْمُخَالِفِ وَالْمُوَافِقِ فِي
الْمَسْأَلَةِ فَلَا يَجِدُ لَهَا نَسْخًا
serta buat orang yang konkrit meyakini
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ini atau
melarang itu, sedang perintah atau larangan itu belum dihapuskan.
Keyakinan mungkin dapat diperoleh dengan meneliti banyak Hadits dan pendapat para ulama yang menentang maupun yang setuju, lalu jelas bahwa ketentuannya belum terhapuskan
Keyakinan mungkin dapat diperoleh dengan meneliti banyak Hadits dan pendapat para ulama yang menentang maupun yang setuju, lalu jelas bahwa ketentuannya belum terhapuskan
أَوْ بِأَنْ يَرَى جَمًّا غَفِيْرًا مِنَ
الْمُتَبَحِّرِيْنَ فِي الْعِلْمِ يَذْهَبُوْنَ إِلَيْهِ وَيَرَى
الْمُخَالِفَ لَهُ لَا يَحْتَجُّ اِلَّا بِقِيَاسٍ أَوْ اِسْتِنْبَاطٍ أَوْ
نَحْوِ ذَلِكَ
Atau mungkin dengan melihat mayoritas
terbesar dari golongan ulama yang mendalami ilmunya ternyata sependapat
dalam ketentuan tersebut, sementara golongan yang menentangnya tidak
mampu mengajukan dalil kecuali hanya berupa qiyas atau istinbath atau
yang sejenisnya (bukan berupa dalil nash).
فَحِيْنَئِذٍ لَا سَبَبَ لِمُخَالَفَةِ حَدِيْثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا نِفَاقٌ خَفِيٌّ
أَوْ حُمْقٌ جَلِيٌّ
أَوْ حُمْقٌ جَلِيٌّ
Jika demikian maka tidak ada dalih untuk
menyalahi Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam selain
kemunafikan yang terselubung atau kebodohan yang nyata.
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا بُدَّ
لِلْمُكَلَّفِ غَيْرِ الْمُجْتَهِدِ الْمُطْلَقِ مِنْ اِلْتِزَامِ
التَّقْلِيْدِ لِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ
الْأَرْبَعَةِ وَلَا يَجُوْزُ لَهُ الْاِسْتِدْلَالُ بِالْآيَاتِ
وَالْأَحَادِيْثِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ
وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَ
مِنْهُمْ
Dan ketahuilah, bahwa setiap orang yang sudah mukallaf (aqil baligh) yang tidak mampu
berijtihad secara mutlak, harus mengikuti salah satu dari empat madzhab dan tidak boleh baginya untuk ber-istidlal (mengambil dalil secara langsung) dari al-Qur’an atau Hadits.
Ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala (yang artinya kurang lebih): “Dan seandainya menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan ulil amri (yang menguasai pada bidangnya) diantara mereka, niscayalah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).”.
berijtihad secara mutlak, harus mengikuti salah satu dari empat madzhab dan tidak boleh baginya untuk ber-istidlal (mengambil dalil secara langsung) dari al-Qur’an atau Hadits.
Ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala (yang artinya kurang lebih): “Dan seandainya menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan ulil amri (yang menguasai pada bidangnya) diantara mereka, niscayalah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).”.
وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ الَّذِيْنَ
يَسْتَنْبِطُوْنَهُ هُمُ الَّذِيْنَ تَأَهَّلُوْا لِلْاِجْتِهَادِ دُوْنَ
غَيْرِهِمْ كَمَا هُوَ مَبْسُوْطٌ فِيْ مَحَلِّهِ
Dan telah dimaklumi, bahwa mereka yang
dapat ber-istinbath (mengambil dalil langsung dari al-Qur’an dan Hadits)
adalah orang-orang yang telah memiliki cukup keahlian dan kemampuan
berijtihad, bukan orang lain, sebagaimana keterangan yang diuraikan
dalam bab ijtihad di berbagai kitab.
أَمَّا الْمُجْتَهِدُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ
التَّقْلِيْدُ فِيْمَا هُوَ مُجْتَهِدٌ فِيْهِ لِتَمَكُّنِهِ مِنَ
الْاِجْتِهَادِ الَّذِيْ هُوَ أَصْلُ التَّقْلِيْدِ لَكِنِ الْمُجْتَهِدُ
الْمُسْتَقِلُّ بِوُجُوْدِ الشَّرَائِطِ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الْأَصْحَابُ
فِيْ أَوَائِلِ الْقَضَاءِ مَفْقُوْدٌ مِنْ نَحْوِ سِتِّمِائَةِ سَنَةٍ
كَمَا قَالَهُ ابْنُ الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى
Adapun orang yang dapat menyandang
status mujtahid, maka haram baginya untuk bertaqlid dalam persoalan yang
ia sendiri mampu berijtihad, karena kemampuannya berijtihad justru
menjadi acuan bagi mereka yang taqlid.
Namun demikian, mujtahid mustaqill (mujtahid yang mampu menggali hukum langsung dari sumbernya, al-Qur’an dan Hadits) dengan memenuhi segala persyaratnnya sebagimana yang telah dijelaskan oleh para pengikutnya dalam permulaan bab qodlo’, ternyata sudah tidak ditemukan lagi sejak kira-kira enam ratus tahun yang silam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Shalah rahimahullaau ta’ala
Namun demikian, mujtahid mustaqill (mujtahid yang mampu menggali hukum langsung dari sumbernya, al-Qur’an dan Hadits) dengan memenuhi segala persyaratnnya sebagimana yang telah dijelaskan oleh para pengikutnya dalam permulaan bab qodlo’, ternyata sudah tidak ditemukan lagi sejak kira-kira enam ratus tahun yang silam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Shalah rahimahullaau ta’ala
حَتَّى قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ إِنَّ
النَّاسَ لَا إِثْمَ عَلَيْهِمْ اَلْآنَ بِتَعْطِيْلِ هَذَا الْفَرْضِ أَيْ
بُلُوْغِ دَرَجَةِ الْاِجْتِهَادِ الْمُطْلَقِ لِأَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ
بُلَدَاءُ بِالنِّسْبَةِ إِلَيْهَا وَفَرْضُ الْكِفَايَةِ فِيْ طَلَبِ
الْعُلُوْمِ لَا يُتَوَجَّهُ إِلَى الْبَلِيْدِ
Bahkan tidak sekedar satu orang yang
menyatakan manusia sekarang tidak berdosa seandainya meninggalkan
kewajiban berijtihad ini, karena manusia zaman sekarang ini terlalu
bodoh untuk mencapai derajat ijtihad. Padahal fardlu kifayah dalam hal
mencari ilmu tidak mungkin ditujukan kepada orang-orang yang bodoh.
وَلَيْسَتِ الْمَذَاهِبُ الْمَتْبُوْعَةُ
مُنْحَصِرَةٌ فِي الْأَرْبَعَةِ بَلْ لِجَمَاعَةٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ
مَذَاهِبُ مَتْبُوْعَةٌ أَيْضًا كَالسُّفْيَانَيْنِ وَإِسْحَاقَ بْنِ
رَاهَوَيْهِ وَدَاوُدَ اَلظَّاهِرِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ
Sebenarnya madzhab-madzhab yang boleh
diikuti tidak hanya terbatas hanya kepada empat madzhab saja, bahkan ada
golongan ulama dari madzhab yang bisa diikuti, seperti madzhab Sufyan
Tsawri dan Sufyan bin ‘Uyaynah, Ishaq bin Rahawayh, madzhab Dawud
ad-Zhahiri dan madzhab al-Awza’i.
وَمَعَ ذَلِكَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمْعٌ مِنْ
أَصْحَابِنَا بِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ تَقْلِيْدُ غَيْرِ الْأَئِمَّةِ
الْأَرْبَعَةِ ، وَعَلَّلُوْا ذَلِكَ بِعَدَمِ الثِّقَةِ بِنِسْبَتِهَا
إِلَى أَرْبَابِهَا لِعَدَمِ الْأَسَانِيْدِ الْمَانِعَةِ مِنَ
التَّحْرِيْفِ وَالتَبْدِيْلِ
Meskipun demikian para ulama pengikut
madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa mengikuti selain empat madzhab adalah
tidak boleh, karena tidak ada jaminan kebenaran atas hubungan madzhab
itu dengan para imam yang bersangkutan, sebab tidak adanya sanad
(mata-rantai) yang dapat menjamin daari beberapa kekeliruan dan
perubahan
بِخِلَافِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ
فَإِنَّ أَئِمَّتَهَا بَذَلُوْا أَنْفُسَهُمْ فِيْ تَحْرِيْرِ الْأَقْوَالِ
وَبَيَانِ مَا ثَبَتَ عَنْ قَائِلِهِ وَمَالَمْ يَثْبُتْ فَأَمِنَ
أَهْلُهَا مِنْ كُلِّ تَغْيِيْرٍ وَتَحْرِيْفٍ وَعَلِمُوا الصَّحِيْحَ مِنَ
الضَّعِيْفِ ،
Berbeda dengan madzhab empat, karena
para pemimpinnya telah mencurahkan jerih payahnya dalam mengkodifikasi
(menghimpun) pendapat-pendapat serta menjelaskan hal-hal yang telah
ditetapkan atau yang tidak ditetapkan oleh pendiri madzhab. Dengan
begitu, maka para pengikutnya menjadi aman dari segala perubahan dan
kekeliruan, serta bisa mengetahui mana pendapat yang benar dan yang
lemah.
وَلِذَا قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ فِي
الْإِمَامِ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ إِنَّهُ إِمَامٌ جَلِيْلُ الْقَدْرِ عَالِي
الذِّكْرِ وَ إِنَّمَا ارْتَفَعَتْ اَلثِّقَةُ بِمَذْهَبِهِ لِعَدَمِ
اعْتِنَاءِ أَصْحَابِهِ بِالْأَسَانِيْدِ فَلَمْ يُؤْمَنْ عَلَى مَذْهَبِهِ
التَّحْرِيْفُ وَالتَّبْدِيْلُ وَنِسْبَةُ مَالَمْ يَقُلْهُ إِلَيْهِ ،
فَالْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ الْمَشْهُوْرَةُ الْآنَ الْمُتَّبَعَةُ ،
وَقَدْ صَارَ إِمَامُ كُلٍّ مِنْهُمْ لِطَائِفَةٍ مِنْ طَوَائِفِ
الْإِسْلَامِ عَرِيْفًا بِحَيْثُ لَا يَحْتَاجُ السَّائِلُ عَنْ ذَلِكَ
تَعْرِيْفًا
Oleh karena itu, tidak sedikit orang
yang memberi komentar terhadap Imam Zayd bin ‘Ali. Beliau adalah seorang
imam yang agung kedudukannya dan tinggi reputasinya, akan tetapi
kepercayaan terhadap madzhabnya menjadi hilang karena para
murid-muridnya kurang dalam memberikan perhatian pada pentingnya sanad
yang menjamin kesinambungan suatu madzhab.
فَالْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ
الْمَشْهُوْرَةُ الْآنَ الْمُتَّبَعَةُ ، وَقَدْ صَارَ إِمَامُ كُلٍّ
مِنْهُمْ لِطَائِفَةٍ مِنْ طَوَائِفِ الْإِسْلَامٍ عَرِيْفًا بِحَيْثُ لَا
يَحْتَاجُ السَّائِلُ عَنْ ذَلِكَ تَعْرِيْفًا
Maka madzhab empat inilah madzhab yang
sekarang masyhur dan diikuti. Para imam dari masing-masing empat madzhab
ini begitu dikenal, sehingga orang yang bertanya tidak perlu lagi
diberikan pengenalan kepada mereka, karena begitu nama mereka disebut,
dengan sendirinya orang bertanya pasti mengenalnya.
0 Response to "Pentingnya Bermadzhab Dalam Islam"
Post a Comment